Oleh: ABDUL MUN'IM KHOLIL, Lc | Direktur Utama Aswaja NU Center Pakong

“Ada yang salah dengan sistem pendidikan agama di pesantren-pesantren, mushalla dan masjid. Karena di sana Al-Qur’an dan Hadis tak dijadikan kajian/materi utama. Lembaga-lembaga pendidikan di Nusantara telah salah langkah dan tak ada yang menyadarinya hingga berlangsung selama berabad-abad” ungkapan semacam ini sering kita dengar dari kalangan modernis maupun Salafi-Wahhabi.

Mirip dengan ucapan kaum Khawarij di masa silam “Tak ada hukum yang bisa diterima selain hukum Allah”, yang kemudian direspon oleh sayyidina Ali sebagai kalimatu haqqin urida biha al-bathil (kalimat benar tapi dipergunakan secara salah). Sebab, Khawarij menggunakan kalimat ini sebagai senjata ampuh untuk menyalahkan semua pihak yang tidak sepaham dengan kelompoknya.

Kaum modernis dan Salafi-Wahhabi menganggap bahwa terlalu menyibukkan diri dengan materi fikih, ilmu kalam, gramatika bahasa Arab dll. berarti sengaja melupakan Al-Qur’an dan Hadis. Kesimpulan semacam ini, terlalu gegabah dan memuat banyak kerancuan: diantaranya ada stigma bahwa ilmu-ilmu Islam tak bersifat integral dan terpisah antara satu disiplin ilmu dengan yang lainnya. Kedua, adanya praduga bahwa ulama yang menyebarkan Islam di Nusantara telah sengaja ingin menjauhkan kaum Muslimin dari Al-Qur’an dan Hadis sebagai dua sumber utama ilmu pengetahuan Islam.

Maka di sini perlu dijernihkan: disiplin-disiplin ilmu Islam bersifat integral dan tak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Meski memang ada hierarki ilmu pengetahuan. Tapi mayoritas ulama sepakat bahwa bermacam disiplin ilmu Islam saling melengkapi. Tak ada yang boleh meng‘anak tiri’kan salah satu ilmu pengetahuan Islam. Ibn Khaldun memang membagi ilmu menjadi dua: ada ilmu alat (seperti gramatika bahasa) dan ilmu maqshud bidzat (ilmu yang menjadi tujuan: seperti ilmu syariat yang meliputi Tafsir, Hadis, Fikih, ilmu kalam dst), namun semata karena mempertimbangkan obyek pendidikan. Tanpa berniat ingin memberi garis pemisah antara satu ilmu dengan yang lainnya.

Dalam perspektif sarjana Muslim, semua ilmu penting dan harus didalami secara serius. Seorang pelajar/santri yang berpikir bijak akan mempelajari semua disiplin ilmu Islam tanpa membedakan antara ilmu yang berfungsi sebagai alat pengantar atau ilmu tujuan.

Persoalannya kemudian, dari mana sebaiknya anak didik memulai petualangan ilmiahnya? Dalam catatan kitab Mukaddimah-nya, Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa setiap kawasan dan daerah memiliki tradisi dan budaya pendidikannya sendiri. Tak ada keseragaman dalam manajemen pendidikan yang diterapkan karena disesuaikan dengan tuntutan masa dan lokalitas. Namun semua negara Islam menerapkan pelajaran membaca Al-Qur’an sebagai langkah instrumental bagi anak didik.

Di Barat Islam (meliputi Tunisia, Maroko, Aljazair, Libya dan sekitarnya), menurut catatan Ibn Khaldun, santri pemula akan difokuskan hanya belajar membaca dan menulis Al-Qur’an sekaligus menghafalnya. Tanpa ada tambahan materi hadis, fikih, sastra dan syair. Akibatnya, peserta didik banyak yang terputus aksesnya ke ilmu-ilmu tadi karena tak mempersiapkan ilmu alat.

Di kawasan Andalusi-Spanyol dan sekitarnya tatkala masih di bawah imperium Islam, peserta didik akan diajari materi lain selain Al-Qur’an, seperti sastra dan syair Arab, hingga gramatika bahas Arab. Sehingga ketika menginjak remaja, seorang anak memiliki kesiapan bakat untuk mendalami berbagai disiplin ilmu Islam. Sementara di kawasan Afrika (seperti kawasan Muritania dan yang berkulit hitam), biasanya pelajaran Al-Qur’an akan diselingi menghafal hadis. Tak jauh dari tradisi yang berlangsung di Andalusia. Di Timur Islam (kawasan Timur-tengah dan Mesir) sendiri, Al-Qur’an dipelajari sekaligus mempelajari dan mengembangkan katangkasan dasar-dasar ilmu yang bisa membantunya berkembang di masa depan.

Di Nusantara (meliputi Indonesia, Malaysia, Pattani-Thailand dan beberapa komunitas Muslim Asia Tenggara), tradisi yang sudah mengakar semenjak masa para sunan adalah memulai dengan mengaji Al-Qur’an [dengan atau tanpa] menghafalnya, kemudian dilanjutkan dengan dasar ilmu fikih dan praktek shalat, hingga berlanjut pada pelajaran gramatika bahasa, pemantapan akidah melalui ilmu kalam dst. Karena mempertimbangkan konteks masyarakat Nusantara yang memiliki bahasa sendiri, dan Al-Qur’an yang memakai bahasa Arab, maka ulama Nusantara secara masif menganjurkan anak didik mendalami gramatika bahasa agar memiliki malakah (kesiapan bakat) untuk mengkaji Al-Qur’an dan Hadis lebih mendalam.

Jadi, anggapan Salafi-Wahhabi bahwa ulama Nusantara sengaja mengajarkan secara masif materi fikih dan ilmu kalam agar umat Islam semakin menjauh dari Islam, adalah mengada-ada, sikap buruk sangka, dan rasa iri terhadap perjuangan ulama dan pengaruhnya di tengah masyarakat. Mustahil, para ulama menggiring masyarakatnya agar menjauh dari Al-Qur’an dan Hadis.

Jika ditanya: lantas kenapa para ulama sangat gemar sekali mengkaji materi Nahwu-Shorof (gramatika bahasa Arab), fikih dan ilmu kalam? seakan mereka melupakan sumber aslinya. Jawabnya, karena materi-materi selain Al-Qur’an dan Hadis lebih mudah dipahami bagi pemula. Ibaratnya, materi selain Al-Qur’an dan Hadis adalah menu siap saji. Sementara Al-Qur’an adalah bahrun la sahila lahu (samudera tak bertepi) yang hanya bisa dipelajari langsung oleh para ulama yang rasikh (mapan dan mantap karena sudah melengkapi perangkat ilmu yang dibutuhkan). [lihat QS. Luqman: 27 atau QS. Al-Kahfi: 109]  

Adalah kecerobohan, jika setiap pelajar apalagi orang awam diajak kembali pada Al-Qur’an sebelum mendalami materi yang semestinya. Setiap jenjang pendidikan membutuhkan “proses” yang tak sebentar. Semua ada waktunya, orang yang terburu-buru tak akan mendapat apa-apa. Dalam kajian Ulum Al-Qur’an dijelaskan langkah-langkah yang perlu ditempuh seseorang sebelum mengkaji Al-Qur’an agar tak kelelep atau tersesat: dia harus menguasai bahasa Al-Qur’an, mengenal sebab turunnya ayat, mengetahui ayat yang menghapus atau dihapus hukumnya namun tulisannya masih tetap ada, ayat mutasyabihat dan muhkamat, tahu cara menggali hukum dari ayat-ayat ahkam, bisa membedakan majaz dan hakikat dst.

Bahasa Al-Qur’an tidak lugu dan bisa dipahami secara naif. Ia bernilai sastra tinggi, selain sebagai kitab petunjuk (hidayah) tentunya. Mengingkari adanya majaz di dalam Al-Qur’an (seperti yang diyakini Ibn Taimiyah dan para pengagumnya dari kalangan Wahhabi) adalah pelecehan terhadap cita rasa sastrawi yang ada dalam Al-Qur’an, bahkan bisa mengantar pelakunya pada tasybih dan tajsim (baca: menyerupakan Allah dengan makhluk).        

Tulisan ini adalah bentuk kritik atas Ibn Taimiyah dan para pengagumnya yang jauh-jauh hari sudah mengumandangkan adagium “Kembali ke Al-Qur’an dan Hadis”. Adagium ini mengilhami Kiai Sinwani —meski tak pernah menyebut nama Ibn Taimiyah secara terang-terangan dalam bukunya, Panduan Islam dalam Logika— untuk membagi ilmu Islam menjadi: hulu (Al-Qur’an-Hadis) dan hilir (ilmu selain keduanya), dan secara tegas menulis “ilmu keagamaan [selain hulu] bukan ilmu syariat” (Alfa-SA:2013).

Dikotomi ilmu pengetahuan semacam itu hanya akan membuat seorang intelektual Muslim mengunggulkan sekaligus merendahkan satu ilmu dari ilmu yang lainnya. Padahal, kita semua sepakat bahwa muara setiap disiplin ilmu Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Para ulama yang menggagas ilmu fikih bersandar pada Al-Qur’an dan Hadis, demikian juga dengan ilmu kalam, sastra/pramasastra Arab, gramatika, tajwid, tafsir, tasawuf, ushul fikih, ulum al-qur’an, musthalah al-hadis dsb.       

0 komentar:

Posting Komentar

 
Aswaja NU Center Pakong - Buletin Kiswah © 2015. Powered by Sumberpandan.com
Atas