Oleh: Shanhaji, Lc.*



Kaum Wahabi merupakan salah satu sekte yang paling getol dalam mengkampanyekan mazhab salaf, begitu juga paling giat mengajak umat Islam kembali menuju mazhab salaf. Entah mazhab salaf mana yang mereka maksud? Namun jika diperhatikan, prilaku mereka justru tidak mencerminkan prilaku salaf. Bahkan, kaum Wahabi justru berada di barisan terdapan yang menyimpang dari mazhab salaf. Terbukti dari sikap mereka yang cenderung menilai orang lain kafir dan syirik, padahal salaf sendiri sangat berhati-hati dalam menilai atau mengklaim orang lain kafir, bahkan syirik.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw., pernah memberikan penyataan bahwa, barangsiapa yang mengatai saudaranya kafir, maka ia akan termakan oleh perkataannya sendirinya. Artinya, jika misalkan kata kufur yang dilontarkan orang tersebut salah dialamatkan, maka sifat kufur malah akan menimpa dirinya. Mungkin hadis inilah yang memotori Sy. Ali menghindari pengkafiran terhadap kaum Khawarij, meski mereka telah mengkafirkan beliau, Muawiyah dan sahabat lain yang ikut serta dalam proses arbitrase (tahkim). Dalam sebuah riwayat Sy. Ali pernah ditanya mengenai sikap beliau tentang kafir-tidaknya Khawarij. Beliau menjawab, “Mereka tidak kafir, sebab mereka lari dari kekafiran. Mereka adalah kaum yang termakan fitnah, hingga mereka buta dan tuli hatinya[1].
Dalam riwayat lain Rasulullah pernah marah besar terhadap Usamah bin Zaid gara-gara masih menebaskan pedangnya saat musuh yang ada dalam genggamannya mengucapkan kalimat syahadat. Zaid memahami bahwa, kalimat syahadat yang diucapkan adalah modus untuk membela dan menyelamatkan diri dari cengkraman kematian. Sementara menurut Rasulullah, musuh tersebut harus dipelihara darahnya, sebab telah mengucapkan kalimat syahadat. Secara implisit, riwayat ini mengajak kita agar selalu mengedepankan sikap positif dalam menilai orang lain, terutama dalam urusan yang berhubungan dengan keyakinan, sehingga kita tidak gampang mengklaim atau mempersepsikan orang lain kafir, bahkan musyrik. Meski kondisi yang dihadapi Zaid sepertinya lebih mendukung sikapnya, tapi Rasulullah lebih memandang fakta lahirnya. Karena itu diujung kritiknya terhadap sikap Zaid, beliau berkata: “Kenapa tidak kamu robek saja hatinya, biar kamu tau isinya”.  Riwayat ini senada dengan pernyataan bahwa, Jika terdapat 99 bukti akan kekafiran seseorang dan 1 celah yang menetapkan keislamannya, maka sebaiknya satu celah ini yang diberlakukan.
Bahkan al-Ghazali menilai bahwa, kesalahan cara pandang dan paham yang dicetuskan Muktazilah, Musyabbihah dan sekte lain, selain falasifah adalah kesalahan dalam mentakwil. Menurut al-Ghazali, cara pandang dan paham mereka tersebut masih berputar dalam ruang lingkup ijtihad. Karena itu – masih dalam pernyataan al-Ghazali— sebaiknya pengkafiran dihindari, selagi masih ada celah untuk menghindarinya, sebab menghalalkan darah dan harta orang  yang salat menghadap kiblat dan terang-terang mengucapkan kalimat syahadat adalah kekeliruan. Dan, keliru karena membiarkan seribu orang kafir hidup, lebih ringan daripada membiarkan satu orang Islam mati, sebab adanya klaim pengkafiran.[2] Sedangkan menghindari pengkafiran terhadap Ahlu al-Qiblat, Ahlu al-Ahwa’ dan Ahlu bidah, menurut imam Nawawi adalah mazhab Ahlu al-Haq.
Sikap salaf ini kemudian diteladani oleh generasi Aswaja kontemporer, seperti Said Ramadlan al-Bouti. Dalam bagian pertama dari bukunya yang fenomenal, “al-Madzahib at-Tauhidiyah wa al-Falsafât al-Mu’ashirah” al-Bouti menyampaikan bahwa sekte-sekte yang akan dikupas dalam bukunya tersebut adalah sekte-sekte Islam yang masih menjadi bagian dari Islam. Sebab itu, sekte-sekte tersebut disebut ‘sekte Islam’. Al-Bouty menambahkan bahwa, tidak boleh mengeluarkan (mengkafirkan) sekte-sekte yang ada dari Islam, sebab dalam peradaban Islam tidak ditemukan seorang yang menghukumi mereka kafir.[3]
Kemudian al-Bouti mencoba menafsirkan hadis tentang al-Iftiraq (Terpecahnya umat Rasulullah menjadi 73 golongan) yang berpotensi dan menjadi akar terjadinya pengkafiran antar sekte-sekte Islam. Menurut beliau, Ummatku” dalam hadis tersebut adalah ‘Umat Dakwah’, yaitu umat nabi Muhammad secara umum, mencakup yang muslim dan non muslim. Artinya, yang pecah dalam hadis tersebut adalah umat Islam dan non muslim dari umat nabi Muhammad. Yang non muslim nanti semuanya akan di neraka, sedangkan yang muslim, sekaligus semua pecahannya adalah yang selamat dan kelak akan menjadi penghuni surga.[4] 
Hal senada juga disampaian oleh Ahmad Musayyar dalam bukunya, “Al-Muqaddimah fi al-Firaq”. Hanya saja beliau menambahkan catatan bahwa, meskipun misalkan yang dimaksud dengan “Umatku” dalam hadis al-Iftiraq adalah ‘Umat Ijabah’ (Umat Islam), namun hadis tersebut tetap tidak bisa menjadi legalitas kebolehan mengkafirkan orang atau sekte lain. Sebab 72 golongan yang kelak akan di neraka nantinya akan dikeluarkan dari neraka, karena secara implisit atau eksplisit dalam hadis tersebut tidak ada penegasan bahwa kelak mereka akan kekal di neraka. Hal ini menunjukkan bahwa, pandangan ideologis 72 golongan yang ada tidak sampai mengularkan mereka dari garis Islam, karena itu mereka akan menjadi penghuni nereka dalam waktu yang berjangka. Dan, nanti mereka akan diangkat menuju surga.
Dari penjelasan-penjelasan tadi bisa ditarik kesimpulan bahwa, menghindari pengkafiran merupakan ciri khas salaf yang sangat dijunjung oleh kaum Aswaja, khusunya Asyairah. Sedangkan Wahabi yang mengklaim diri mereka salaf dan paling berhasil mengikuti ideologi dan prilaku salaf perlu untuk dipertanyakan lagi, mengingat pengkafiran adalah ciri khas yang menjadi cerminan mereka. Bahkan menurut penulis, Wahabi lebih tepat dianggap sebagai penerus salaf yang tidak bermazhab salaf. Wallahu a’lam bi as-shâwâb.  



Daftar Pustaka:

1.      Dr. Nasyat Abdul Jawwad Dlaif, Dhahirah at-Takfir wa Mauqif Ahlussunnah Minha, Kairo, 1995 M/1415 H.
2.      Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Juz 1. Hal. 83
3.      Sa’id Ramadlan al-Bouti, al-Madzahib at-Tauhidiyah wa al-Falsafat al-Mu’ashirah, Maktabah Dar al-Fikr, Bairut.

  *) Jebolan Universitas al-Azhar Kairo Mesir yang kini mengajar di Ponpes Sidogiri Pasuruan



[1][1] Dr. Nasyat Abdul Jawwad Dlaif, Dhahirah at-Takfir wa Mauqif Ahlussunnah Minha, Kairo, 1995 M/1415 H. hal, 23
[2] Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Juz 1. Hal. 83
[3] Sa’id Ramadlan al-Bouti, al-Madzahib at-Tauhidiyah wa al-Falsafat al-Mu’ashirah. Maktabah Dar al-Fikr. Bairut. Hal, 23
[4] Ibid. Hal, 24-25

0 komentar:

Posting Komentar

 
Aswaja NU Center Pakong - Buletin Kiswah © 2015. Powered by Sumberpandan.com
Atas