Oleh: Tâjuz Zuhud | Asisten Direktur Aswaja NU Center Pakong
Sudah tidak asing lagi mengenai sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama yang
tidak lepas dari sentuhan spiritual Syaikhona Kholil Bangkalan melalui KH.
As’ad Syamsul Arifin sebagai mediator penyampai pesan simbolik gurunya yang
berupa tongkat dan tasbih untuk dihaturkan ke Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari
Jombang yang cukup memantapkan hati beliau untuk mendirikan organisasi yang
kini terbesar di Indonesia tersebut.
Namun tidak sedikit dari kita hanya mendengar sejarah singkatnya dari
buku maupun media lain, belum membaca atau mendengar langsung penuturan dari
pelaku sejarahnya, KH. As’ad Syamsul Arifin sendiri. Berikut penulis sajikan teks
pidato dengan suara asli Kiai kelahiran Mekah itu yang awalnya berbahasa Madura
namun telah ditransliterasi oleh penulis ke bahasa Indonesia dengan sedikit
penyesuaian tata letak bahasa.
Usai mengucap salam, KH. As’ad memulai pidatonya dengan basmalah dan
hamdalah yang dilanjuti dengan membaca salawat atas Nabi Muhammad Saw, keluarga
dan para sahabat setianya. Kemudian beliau berkata:
“Yang akan saya sampaikan ini bukanlah berupa pengarahan maupun nasihat,
tapi berupa cerita (sejarah). Apakah kalian mau mendengarkan cerita ini?” tanya KH. As’ad kepada
hadirin pada waktu itu. “Kalau memang mau, saya akan melanjutkannya.
Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU iya kan? Kalau ada yang
selain NU tidak apa-apa mendengarkan. Cuma yang akan saya sampaikan ini adalah
tentang NU, Nahdlatul Ulama, sebab saya ini adalah orang NU. Tidak akan berubah
sampai kapan pun tetap NU!” ungkap KH. As’ad dengan suara lantang.
“Jadi saya akan menceritakan ke kalian, kenapa ada NU? Tentunya kalau mubalig-mubalig
yang lain yang disampaikan adalah isinya kitab, namun pada kesempatan ini saya
akan membahas kenapa ada NU di Indonesia ini. Tolong didengarkan, terutama para
pengurus. Baik pengurus cabang, MWC dan ranting.
Umat Islam Indonesia sejak sekitar kurang lebih 700 tahunan dari sekarang,
para aulia’, para pelopor-pelopor Rasulullah Saw yang masuk ke Indonesia
pertama kali membawa syariat Islam yang mengikuti aliran salah satu empat
mazhab, yang sekarang dikenal dengan istilah paham Ahlusunah Wal Jamaah atau
syariatnya baginda Nabi Muhammad Saw yaitu mengikuti salah satu empat mazhab,
khususnya mazhab Syafi’i yang terbesar diikuti di Indonesia. Mazhab-mazhab yang
lain juga ada. Termasuk yang dibawa Wali Songo, seperti Sunan Ampel, Maulana
Ibrahim Asymoro ayahnya, Sunan Kalijogo, Sunan Gunung Jati. Semuanya ini adalah
pelopor-pelopor Islam yang membawa ajaran Ahlusunah Wal Jamaah.
Sekitar tahun 1920 ketika saya ada di (pondok) Kiai Kholil
Bangkalan, Kiai Muntaha Jengkebuan,
menantunya Kiai Kholil Bangkalan kedatangan tamu ulama dari seluruh Indonesia
yang datang bersamaan namun tidak mengadakan perjanjian (sebelumnya), yang
berjumlah sekitar 66 ulama. Masing-masing ulama melaporkan, “Bagaimana Kiai
Muntaha, tolong sampaikan ke Kiai Kholil, saya tidak berani menemuinya,
termasuk seluruh ulama ini berencana menemui Syaikhona Kholil, cuma tidak
berani kecuali diantar oleh Anda”
Terus Kiai Muntaha bertanya “Apa keperluan Anda?”
“Sekarang ini sudah mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak suka
terhadap ulama-ulama salaf, tidak suka terhadap karangan mereka. Yang mau
diikuti hanya Quran Hadis saja, yang lain tidak perlu diikuti. Lalu, bagaimana
peninggalan para pelopor-pelopor terutama Wali Songo jika paham ini yang
berlaku di Indonesia. Sebab sepertinya kelompok ini melalui kekuasaan
pemerintah jajahan Hindia Belanda. Mohon sampaikan ini ke Kiai Kholil”
Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kiai Kholil, (yaitu ketika) masih di
Jengkebuan, Kiai Kholil menyuruh Kiai Nasib (seraya berkata) “Nasib ke sini! Bilang
ke Muntaha, di al-Quran sudah ada keterangan
يُرِيدُونَ
لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ
كَرِهَ الْكَافِرُونَ (8) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ
الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (9)
Mereka ingin
memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru)
menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya. ( ) Dia-lah
yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia
memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci. (QS.
As-Shaf: 8-9)
Tolong ini sampaikan ke Muntaha. Ini sudah cukup”
Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Swt (sesuatu) tidak akan gagal,
sebelum tamu sampai ke Kiai Kholil, beliau sudah menjawabnya. Inilah namanya
karomah. Lalu tamu tadi itu tidak
menyampaikan apa-apa lagi, Cuma bersalaman. “Sudah. Kami puas sekarang. Sebelum
kami menyampaikan (ke Kiai Cholil) sudah dijawab oleh beliau” kata tamu kepada
kiai Muntaha.
Tahun 1922 sekitar 46 ulama se Jawa
mengadakan musyawarah di Kawatan, di kediaman Mas Alwi. Termasuk yang
hadir adalah ayah saya (KH. Syamsul Arifin), kiai Sidogiri, Kiai Hasan almarhum
Genggong, Kiai Saleh Lateng, Kiai Asnawi Kudus, kiai-kiai dari Jombang serta
Kiai Thohir Bungkuk. (Namun pada musyawarah tersebut) tidak membuahkan
kesimpulan. Ada yang berpendapat mendirikan jamiyah, menurut yang satunya Sarikat
Islam dikuatkan saja, menurut yang lain organisasi Penyedar ini saja dikuatkan.
Belum ada NU (pada waktu itu). Padahal paham (nyeleneh) sudah merajalela.
Tabaruk tidak boleh, orang minta barokah ke Ampel tidak boleh, minta syafaat ke
gurunya juga tidak boleh. Semuanya ditolak oleh kelompok tersebut.
Hingga ada salah satu ulama berkata “Saya menemukan sejarah tulisannya
Sunan Ampel sendiri. Kalau tidak salah ini” lalu ulama itu menyodorkan kitab
yang berbentuk kertas terbuat dari kayu yang cukup tebal. Saya pada waktu itu
masih kecil, masih belum dewasa, mendengarkan (perkataan ulama tersebut) “Sunan
Ampel nulis dalam kitab ini “Waktu disuruh mengaji di Madinah oleh ayah saya,
saya pernah bermimpi diterangkan oleh Rasulillah Saw. Beliau berkata kepada
saya ‘Rahmatulloh, Islam Ahlusunah Wal Jamaah ini bawa ke Indonesia (Nusantara),
sebab di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan ajaran Ahlusunah Wal Jamaah”
Jadi di tanah Arab tidak mampu melaksanakan ajaran Ahlusunah wal Jamaah.
Ini sejak zamannya Maulana Rahmat, belum ada istilah Wahhabi atau yang lain
pada waktu itu. Akhirnya mendapatkan kesepakatan bahwa seluruh ulama tersebut
mengadakan istikhoroh ke berbagai makam Wali Songo. Ada yang ke Ampel, ke Sunan
Giri dan ke sunan-sunan Wali Songo yang lain, paling sedikit 40 hari. Lalu ada
4 orang ditugas langsung ke Madinah.
Ketika sekitar tahun 1923 berkumpul kembali dan saling melaporkan
hasilnya. Dan Hasil laporan tersebut sampai sekarang masih ada. Kurang tahu
siapa yang menyimpannya. Apa Kiai Wahab (Hasbullah), apa Kiai Bisri (Syansuri).
Saya pernah meminta ke Gus Abdurrahman (Gus Dur) dan Gus Yusuf (ayahanda Gus
Ipul) supaya mencarinya. Pada pertemuan tersebut (lagi-lagi) tidak menemukan
kesimpulan.
Akhirnya pada tahun 1924, Kiai Kholil memanggil saya. Ya Saya, bukan yang
lain” ungkap
KH. As’ad berulang-ulang meyakinkan para pendengar bahwa dia sendiri yang
dipanggil Syaikhona Kholil Bangkalan.
“Awalnya, pada waktu saya mengaji di pagi hari saya dimarahi oleh Kiai
(Kholil) karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ro’. Kiai marah kepada saya
sambil berkata “Disengaja apa tidak oleh kamu?”
“Tidak
Kiai, tidak disengaja, saya pelo (Madura: Pellat) Kiai”
Lalu Kiai Kholil keluar dan mulut saya dibuka oleh beliau dan disuruh
menganga lalu diludahi oleh beliau. Dan keesokan harinya pelo saya sudah
hilang. Ini sebagian dari karomah Kiai Kholil yang diberikan kepada saya.
Setelah itu saya dipanggil lagi lalu ditanya “Sudah sembuh pelonya?”
“Sudah Kiai” Terus saya disuruh membaca (sebagian ayat) lalu beliau
berkata “Besok kamu pergi ke rumahnya Hasyim Asy’ari Jombang! Kamu tahu
rumahnya?”
“Tahu Kiai”
“Tahu darimana? Pernah mondok?”
“Tidak Kiai, namun pernah sowan”
“Tongkat ini antarkan ke Hasyim Asy’ari. Kamu punya ongkos?”
“Tidak kiai, saya tidak punya uang” Lalu saya diberi satu Ringgit uang
perak dan saya masukkan ke saku. (Uang itu) tidak pernah saya apa-apakan sampai
sekarang masih ada. Ya tidak beranak tapi berbuah” celetuk KH. As’ad yang disertai tawa
para pendengar. “Kalau buahnya banyak. Ini adalah barokah.
Keesokan harinya sebelum saya berangkat, saya dipanggil lagi oleh Kiai
Kholil “As’ad sini! Berangkatlah kamu!”
“Iya Kiai”
“Cukup uangmu yang kemarin itu?”
“Cukup Kiai”
“Iya kalau hanya ongkosnya kereta. Belum makan dan rokoknya kamu. Wong
kamu doyan rokok. Ini saya tambahkan lagi” diberi satu Ringgit lagi, jadi
totalnya 5 rupiah. Uang itu tetap utuh sampai sekarang. Terus Kiai Kholil berkata
(seraya memberikan tongkat lalu membaca ayat)
“وَمَا تِلْكَ
بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ
بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (18) قَالَ أَلْقِهَا يَا
مُوسَى (19) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (20) قَالَ خُذْهَا وَلَا
تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى [سورة طه]
Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? ( ) Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku,
aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan
bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya (
) Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa! ( ) Lalu dilemparkannya lah tongkat itu, maka
tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat ( ) Allah berfirman: "Peganglah ia dan
jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.
Bawa ini ya ke Hasyim Asy’ari”
Saya pada waktu itu masih muda, masih tampan. Kalau sekarang kan sudah
keriput. Namanya anak muda pegang tongkat, (di tengah perjalanan) dilihat-lihat
oleh orang dan ada yang berkata “Hadza dzakar majnun (Ini laki-laki gila) bil
asho (pegang tongkat)” kata orang Arab di Ampel. Ada juga yang berkata “Ini
Wali”. Emang bermacam-macam lisannya orang itu. (dalam hati saya berkata) wali
tak wali, majnun tak majnun tidak apa-apa, mereka tidak tahu, saya ini diperintah
guru. Terserah mereka mau bilang apa. Jadi omongan orang itu tidak bisa selalu
diikuti. Ini adalah ujian dari Kiai Kholil, kata saya.
Hingga ketika sampai ke Tebuireng, (ditanya oleh KH. Hasyim Asy’ari)
“Siapa ini?”
“Saya dari Madura Kiai”
“Siapa namamu?”
“As’ad”
“Anaknya siapa?”
“Anaknya Ibrohim, Haji Syamsul Arifin”
“Ohw.. Anaknya Maimunah kamu?”
“Iya Kiai”
“Keponakanku kamu. Ada apa?”
“Saya diperintah untuk mengantarkan tongkat oleh Kiai Kholil”
“Tongkat bagaimana? Sebentar, sebentar, bagaimana ceritanya?” Beginilah
kalau orang yang sadar. Kiai ini pintar dan sadar, tidak langsung diambil
tongkatnya, tapi ditanya dulu kronologinya.
Lalu KH. As’ad membacakan ayat surat Thaha di atas hingga selesai dan
menirukan perkataan KH. Hasyim Asy’ari usai membaca ayat tadi.
“Alhamdulillah Nak (Madura: Cong) Saya tulus (lega) membuat Jamiyatul Ulama.
Saya tulus. Ini adalah tongkatnya Nabi Musa yang diberikan oleh Kiai Kholil
kepada saya” (waktu itu) masih belum ada Nahdlatul Ulama (makanya Kiai Hasyim
menggunakan istilah Jamiyatul Ulama). Saya (heran dan) tidak mengerti sebab
saya tidak mendengar berita sebelumnya.
Setelah itu saya pamit pulang “Mau pulang kamu?” (kata Kiai Hasyim)
“Iya Kiai”
“Ongkosmu cukup?”
“Cukup Kiai, saya hanya ingin mohon ongkos doa Kiai”
“Iya” Lalu Kiai Hasyim membaca doa yang cukup panjang sambil menangis.
(lalu beliau berpesan) “Sampaikan ke Kiai Kholil, saya tulus membuat Jamiyatul
Ulama. Saya tulus. Sesuai Dawuh Kiai Kholil (dulu) kepada tamu yang di
Jengkebuan itu”
Akhir tahun 1924, saya dipanggil lagi oleh Kiai Kholil. “As’ad ke sini”
“Iya Kiai”
“Kamu tidak lupa ke rumahnya Hasyim?”
“Tidak Kiai”
“Hasyim Asy’ari?”
“Iya Kiai”
“Di mana rumahnya?”
“Tebuireng”
“Dari mana asalnya?”
“Dari Keras Kiasi, putranya Kiai Asy’ari Keras”
“Oh ya benar. Di mana Keras itu?”
“Di sebelas baratnya Sebla’”
“Iya betul. Kok tahu betul kamu?”
“Iya Kiai”
“Ini tasbih antarkan (ke Hasyim Asy’ari)”
“Iya Kiai” lalu saya diberi uang 1 ringgit dan saya gabung dengan yang
dulu jadi totalnya 3 ringgit. Uang itu tidak saya apa-apakan sampai sekarang.
Karena saya ingin tahu apa buahnya.
Keesokan harinya ketika Kiai Kholil keluar dari musholla memanggil saya
“Ke sini. Mari makan dulu”
“Tidak Kiai, saya sudah minum wedang dan jajan tadi”
“Dapat dari mana?”
“Beli di (pinggir) jalan”
“Jangan (suka) beli dan makan di pinggir jalan. Santri kok makan di
pinggir jalan, makan di pondok (saja). Masih muda sudah menjual kehormatannya
kamu.”
“Iya Kiai” saya dimarahi oleh Kiai Kholil karena makan di pinggir jalan
tadi.
Akhirnya saya pamit. “Cukup ongkosnya?”
“Cukup Kiai”
“Tidak, ini (saya tambah)” diberi 1 ringgit lagi jadi totalnya sudah 10
rupiah. Lalu Kiai Kholil membaca “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Qahhar, Ya
Qahhar, Ya Qahhar” seraya mengelilingi tasbih tersebut dengan tangannya. Satu
bacaan satu putaran, begitu seterusnya. Lalu tasbih itu mau dikasihkan ke saya
“Ini” (kata Kiai Kholil) terus saya membuka kopiah dan menghadapkan kepala ke
beliau.
“Loh kok lehermu (yang disodorkan)?”
“Iya Kiai, takut jatuh”
“Iya. Sini” jadi tasbih itu dikalungkan ke saya. Namanya anak muda
berkalung tasbih. Ketika di tengah perjalanan, ketemu lagi dengan orang yang
dulu. Lalu mereka berkata “Hadza dzakar awal (ini laki-laki yang dulu pegang
tongkat) dzakar majnun (laki-laki gila)” juga ada yang berkata wali, seperti
tempo dulu itu. Mereka mau bertanya ke saya, saya tidak bisa jawab. Sebab
sepanjang perjalanan saya berpuasa untuk berkata dan makan. Saya tidak akan
berbicara, tidak makan dan tidak merokok sampai ketemu Kiai (Hasyim Asy’ari).
Demi menjaga amanah Kiai Kholil. Sebab saya takut sembrono. Makanya ongkos saya
tidak berkurang sedikit pun. Dan yang membuat heran, ketika kondektur bilang
“Karcis, karcis” saya tidak membeli karcis, dia hanya lewat di pinggir saya. Konderkturnya
orang Belanda. Jadi ke barat dan ke timur selama dua kali itu saya tidak pernah
membeli karcis. Mungkin kondektur tidak melihat saya. Ini jelas, merupakan
karomahnya Kiai Kholil. Jadi aulia’ itu memiliki karomah. Saya tambah yakin
dengan karomah. Tidak bisa dirubah (sampai kapan pun).
Ketika sampai di Tebuireng saya ditanya (oleh Kiai Hasyim) “Ada apa?”
“Ini saya diperintah untuk mengantarkan tasbih oleh Kiai Kholil”
“Masyaallah, masyaallah, saya begitu diperhatikan oleh guru saya. Mana
tasbihnya?”
“Ini Kiai” sambil saya menyodorkan kepala
“Loh..”
“Iya Kiai, ini tasbihnya. Anda yang mengambil sendiri Kiai. Sejak
dikalungkan hingga sekarang saya tidak pernah menyentuhnya sedikit pun. Sebab
takut menyalahi amanah guru Kiai. Karena kata Kiai Kholil, ini untuk Anda, masa
saya memegangnya” lalu Kiai Hasyim mengambilnya dan bertanya “Bagaimana pesan
beliau?”
“Ya Jabbar 3x. Ya Qahhar 3x”
“Barang siapa yang berani ke Jamiyatul Ulama akan hancur”
Tahun 1925 Kiai Kholil wafat, tepatnya pada tanggal 29 bulan Ramadhan.
Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rojab diresmikan Jamiyah Nahdlatul Ulama. Namun
setelah dibentuk, masih beku. Lalu disusunlah Anggaran Dasar termasuk yang
menyusun Kang Dahlan Nganjuk. Dan para ulama mengadakan pertemuan lagi untuk
mengutus orang ke gubernur dan gubernur jenderal.
Begitulah akhir dari penuturan langsung KH. As’ad mengenai sejarah yang
sarat makna ini seraya beliau mengakhiri dengan salam. Namun sebelum berucap
salam, beliau sempat berceletuk bahwa penuturan beliau ini dalam bahasa Madura
disebut Dhunging akronim dari dhungadduh
bereng se kenging. Wallahu a’lam.