Oleh: Ali Murtadlo*

 Akhir-akhir ini semangat gerakan keislaman sungguh membanggakan. Lihatlah betapa banyak pengajian, majelis taklim dan event islami diselenggarakan, baik dengan konsep sederhana maupun yang mewah. Tak ketinggalan pula kemunculan media cetak dan elektronik yang aktif menyuarakan dakwah, dirasa layaknya oase bagi bangsa Indonesia yang sedang terpuruk moralitasnya. Namun sungguh ironis, semangat dakwah yang digembar-gemborkan oleh sebagian kelompok malah menghancurkan persatuan kaum muslimin di Indonesia.
Upaya memecah belah umat semakin terlihat dengan adanya vonis bid'ah, sesat, bahkan kafir yang justru mereka alamatkan kepada mayoritas umat Islam di Indonesia. Doktrin yang disampaikan pun telah memperdayai kawula muda yang minim pengetahuan agamanya.
Banyak sekali subhat yang dilontarkan oleh kalangan yang merasa paling Islam itu, di antaranya : “Agama Islam itu satu, tidak ada mazhab yang wajib diikuti selain Nabi Muhammad Saw, tidak ada seorang pun dari pendiri mazhab empat, baik Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah, Imam as-Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan berpeganglah pada pendapatku, ikutilah madzhabku. Hal itu juga tak pernah diucapkan oleh Abu bakar Ra dan umar Ra. Bahkan mereka melarangnya.
Kalau memang demikian adanya lantas dari mana mazhab-mazhab berasal? tidak lain tersebarnya berbagai doktrin bermazhab terjadi setelah era keemasan Islam! dan akibat dari peran penguasa yang zalim, hakim yang bodoh serta ulama' yang sesat menyesatkan!"
Demikianlah sebagian dari provokasi mereka, yang merupakan salah satu usaha untuk memisahkan umat dengan ulama'. Seakan bermazhab bukan bagian dari Islam.
Sebenarnya subhat yang mereka lontarkan tersebut telah menunjukkan kepada kita tentang kesempitan dan kurangnya pengetahuan mereka tentang Islam.
Mengarahkan (QS. As-Syura: 13) yang melarang bercerai berai dalam agama guna memberangus eksistensi mazhab juga tidak dibenarkan. Sebab sebagaimana telah ditegaskan oleh imam Abdul Wahab as-Sya'rani dalam karyanya, al-Mizan al-Kubra bahwa ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang dikecam adalah yang berkaitan dengan ushuluddin (induk agama: akidah), bukan dalam furu'iyyah (cabang agama). Jangan sampai terbesit pemahaman bahwa ikhtilaf dalam furu' lah yang dimaksud ayat tersebut. Jika itu yang terjadi maka akan tergelincir dalam kehancuran, karena berdasarkan as-sunnah –seperti disimpulkan Asy-Sya’rani— bahwa perbedaan para ulama (umat Muhammad Saw) adalah masuk kategori kasih sayangNya, bahkan dianggap sebagai salah satu keistimewaan umat Muhammad Saw. (al-Mizan al-Kubro I:11 Dar al-Kutub al-Ilmiyah)
Terkait dengan kewajiban ittiba' (mengikuti) kepada nabi, penulis kira tidak ada satu pun ulama yang menyangsikannya. Bedanya, dalam berittiba' kepada nabi Saw, kalangan Aswaja menyesuaikan diri dengan tradisi ilmu yang diwarisi oleh para ulama dari generasi ke generasi hingga pada ulama salaf, tabi'in, sampai sahabat.
Demikianlah sanad (transmisi ilmu) sangat berperan penting dalam legalitas ilmu dan amaliah umat Islam Aswaja, sehingga amaliah kita memiliki dasar yang kokoh. "Andaikan tak ada sanad, niscaya orang akan mengatakan semaunya" itulah pemeo yang masyhur di kalangan ulama. Kita yang hidup jauh dari zaman Nabi Saw tidak dapat mengetahui teknis pelaksanaan shalat tanpa peran para ulama, bahkan Allah tegaskan dalam Quran : “Bertanyalah kepada ahli zikir jika kalian tidak mengetahui!”
Adapun subhat mereka yang mengatakan bahwa kemunculan mazhab dan perbedaan pendapat dalam furu' dikatakan terjadi setelah era keemasan Islam, maka agaknya mereka harus belajar lagi tentang sejarah yang terjadi di era sahabat, era keemasan Islam. Kalau kita telusuri dalam khazanah turats Islam, ternyata perbedaan furu'iyah sudah berlangsung semenjak masa sahabat!
Sebagai sampel, ambillah perbedaan sahabat dalam memahami ayat "aw lamastum an nisa” (Qs. al maidah : 6)
Versi Ibnu Abbas : yang dimaksud kata allamsu, al-massu, dan al-mubasyaaoh adalah hubungan intim (jima'), namun Allah mengungkapkannya menggunakan bahasa kinayah. Pendapat ini juga diamini oleh Ibnu Jarir, dengan menjadikan hadis Sayidah Aisyah sebagai dalil: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتوضأ ثم يقبل ثم يصلي ولا يتوضأ “Pada suatu waktu Rasulullah berwudlu kemudian menciumku, kemudian shalat tanpa berwudlu lagi” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, sahih dalam penilaian as-Suyuthi)
Versi Abdullah Ibn Mas'ud: allamsu itu sentuhan kulit, ciuman itu termasuk persentuhan kulit, di mana wajib berwudu'. Imam Malik meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar berkata : قبلة الرجل إمرأته وجسه بيده من الملامسة فمن قبلها وجسها بيده فعليه الوضوء, “ciuman seorang suami pada istrinya dan sentuhan dengan tangannya termasuk kategori ‘mulamasah’. Barangsiapa yang mencium atau menyentuh dengan tangannya maka wajib wudlu”. Hadis ini diikuti oleh imam as-Syafi'i dan ashabnya, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal: allamsu dalam syara' sama dengan al jassu bil yadd, dengan diperkuat oleh firman Allah (QS. Al-An'am : 7).
Renungkanlah dengan hati nurani, perbedaan pendapat dalam furu' telah terjadi pada zaman sahabat dalam satu kurun, masih dalam satu kawasan.
mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan nas, mentarjih, sesuai dengan dalil yang kuat menurut masing-masing pihak. Perbedaan itu lantas diikuti oleh para imam mazhab empat, meski secara sadar mereka tahu dalil yang diusung oleh pihak yang berseberangan.
Dan yang perlu dicatat, manusia itu bermacam-macam tingkatan dan kemampuannya. Seruan agar melepaskan diri dari mazhab adalah tindakan bodoh, sebab tidak semua orang bisa menguraikan dan memutuskan hukum langsung dari al Quran maupun as Sunnah.
Oleh karenanya, marilah kembali ke tuntunan Qurani, fas aluu ahla ad dzikri in kuntum la ta'lamuun.. fastafti Qolbak! Wallahu a'lam bisshawab.

*Staf Pengajar di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri asal Tebul Kwanyar Bangkalan

0 komentar:

Posting Komentar

 
Aswaja NU Center Pakong - Buletin Kiswah © 2015. Powered by Sumberpandan.com
Atas